Budaya Rasulan di Gunungkidul

Budaya Rasulan di Gunungkidul

Tulisan ini dikutip dari FB Comunitas Cah Asli Tepus (Desa Tepus) 6 July 2012. Rasulan adalah suatu tradisi atau ritual tahunan yang sudah lama diselenggarakan oleh masyarakat Gunungkidul. Kata rasulan sendiri tidak selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang erat hubungannya dengan peringatan terhadap suatu momen hidup Nabi Muhammad SAW, namun kegiatan ini kegiatan budaya masyarakat sekitar.

Rasulan bagi masyarakat Gunungkidul merupakan suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh para petani setelah masa panen tiba. Hal ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas segala nikmat dan karunia yang diberikan kepada semua warga serta untuk menghormati Dwi Sri atau Dewi Padi dan dhanyang (roh-roh halus) penunggu tempat-tempat keramat.

Baca Juga : Rasulan Gunungkidul Resmi Terdaftar Sebagai KIK

Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, setiap dusun mempunyai suatu tempat khusus yang diyakini sebagai tempat persemayaman dhanyang. Tempat-tempat tersebut biasanya berupa pohon resan (seperti pohon beringin, ipik, randu alas dan sebagainya), atau watu dukun (batu akik). Untuk itulah, warga dusun membuat tumpengan dan sesajen untuk dipersembahkan kepada dhanyang sebagai penolak bala sehingga mereka tidak mengganggu warga.

Sinden : Saat Rasulan tri Dusun Nitikan (Barat, Timur)-Sambirejo 2019

Masyarakat Gunungkidul memaknai Rasulan sebagai hari raya ketiga selain Idul Fitri dan Idul Adha. Jadi, even budaya ini mirip dengan tradisi lebaran, di mana seseorang datang ke tempat kerabatnya untuk bersilaturrahmi dan menikmati hindangan spesial yang disediakan oleh tuan rumah. Oleh karena itu, pada hari “H” pelaksanaan Rasulan ini, setiap keluarga biasanya membuat makanan spesial untuk tamu-tamu mereka. Dengan demikian, keberadaan tradisi Rasulan ini menjadi salah satu wadah bagi masyarakat Gunungkidul untuk memupuk semangat kekeluargaan dan mempererat tali persaudaraan antarwarga.

Belum ada catatan resmi mengenai sejak kapan Rasulan ini dilaksanakan. Namun, yang pasti bahwa tradisi ini sudah berlangsung sejak lama dan merupakan warisan dari nenek moyang masyarakat Gunungkidul. Tradisi yang diselenggarakan setahun sekali ini biasanya berlangsung beberapa hari dengan diawali kegiatan kerja bakti membersihkan lingkungan di sekitar dusun seperti memperbaiki jalan, membuat atau mengecat pagar pekarangan, membersihkan makam dan tempat persemayaman dhanyang. Karena itu, tradisi Rasulan ini biasa juga disebut dengan istilah merti deso atau bersih dusun.

Penonton : Saat Rasulan tri Dusun Nitikan (Barat, Timur)-Sambirejo 2019

Dewasa ini, tradisi Rasulan menjadi semakin marak dengan berbagai rangkaian kegiatan olah raga dan pertunjukan seni budaya. Kegiatan di siang hari biasanya diisi dengan pertandingan sepak bola dan voli. Khusus untuk pertandingan voli, terkadang dilaksanakan pada sore hari. Dalam kegiatan olah raga ini, pihak penyelenggara Rasulan mengundang warga dari dusun lain untuk mengadakan pertandingan persahabatan. Sementara itu, kegiatan di malam hari biasanya diisi pertunjukan seni budaya seperti kethoprak, wayang kulit, campur sari, atau tayuban. Pada hari puncak acara, biasanya juga diadakan pertunjukkan seni seperti reog, jathilan, dan kirab mengelilingi dusun.

Hingga kini, masyarakat Gunungkidul setiap tahun melaksanakan tradisi Rasulan ini dalam rangka menjaga dan melestarikan nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya. Bahkan, oleh pemerintah daerah setempat, tradisi ini telah dikemas menjadi salah satu even budaya dan media pengembangan wisata di kawasan Gunungkidul. Dengan berbagai rangkaian kegiatan yang mengiringinya, even Rasulan ini tidak saja menarik perhatian masyarakat lokal, tetapi juga mampu memukau para wisatawan luar daerah dan mancanegara. Hal ini terbukti dengan banyaknya pengunjung yang datang untuk menyaksikan atraksi kesenian lokal yang ditampilkan dalam even ini.

facebook.com/Desa.Tepus/

2 thoughts on “Budaya Rasulan di Gunungkidul

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *